Well, hujan masih berkejar-kejaran menyapu permukaan Bumi yang tinggal menghitung detik menemui akhirnya. Layak hati ini yang belum kering karena sinar matahari yang tak pernah rela menyisihkan seperdetik masa kerjanya di Bumi untuk mengeringkan hatiku. Cari apa? Oh, bukan sepertinya. Apa yang di cari dari matahari yang perlahan mengikis kutub utara dan kutub selatan perlahan tapi pasti. Aku sebut kutub, ya untuk hatiku yang terus mencair kala sang matahari melirik atau mengukir pada bongkahan esnya. Lalu apa aku, jika kutub adalah hatiku? Aku awan, berteman dengan bintang dan bulan. Pahit adalah jalanku dan meringis adalah tabiatku. Berharap bisa singgah pada hati matahari yang tak kunjung menampakkan siapa dan apa dirinya. Terbalik, malah aku yang terpaku karena dia menancapkan jangkar pesonanya ke bebatuan hatiku.
Dia matahari formal dalam ukuran kebimbangan tiada tara dan arah. Aku menyataknnya dan ku tulis lekat-lekat pada kutub. Sampai aku menemukan 'matahari' lainnya yang boleh disebut Pluto. Ku temukan dia entah dari mana, hingga kutub hati ini rasanya meleleh meski tak pernah bertatap layak aku dan matahari. Pluto yang selalu membuat kutub ini goyah akan bangkit atau mati sekalian. Pluto yang menjadi alasan untuk melenyapkan kerajaanku. Pluto dan Pluto yang bisa membuatku berada di ambang kemarahan. Pluto dan Pluto yang bisa membuatku berada dalam kegelian.
Aku bimbang? Kukira begitu. Matahari yang masih menguasai kutub, sedang apa yang dapat Pluto perbuat? karena dia entah dimana. Aku dan aku yang menggantungkan palang pada keduanya. Keduanya yang tak tahu siapa dan apa aku. Meski pernah sesekali berbicara dengan Matahari di depan gerbang singgasanaku.
0 komentar:
Posting Komentar